Sabtu, 06 Juli 2013

KEKAYAAN INDONESIA YANG LENYAP

Pada tahun 1906 terjadilah ikrar raja-raja nusantara yang di prakasai oleh Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker bersama Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat dan Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dalam ikrar tersebut ditumbuhkannya rasa nasionalisme “tanah air (Indonesia) diatas segala-galanya”. Pada saat itu seluruh raja-raja nusantara menyumbangkan sebagian asset mereka untuk membantu perjuangan dan menurut sum
ber sejarah, dana tersebut sebagian disimpan di luar negeri.

Dana perjuangan lebih dikenal dengan Dana Revolusi / Dana Amanah mulai dihimpun lagi pada masa setelah kemerdekaan dana revolusi yang dihimpun berdasar perpu no.19 tahun 1960. Isinya antara lain, mewajibkan semua perusahaan negara menyetorkan 5% profit 5% dari keuntungannya pada pemerintah bagi Dana Revolusi, disebut perusahaan negara itu, termasuk pula berbagai perusahaan Belanda yang baru dinasionalisasikan, seperti perkebunan besar. Konon berjumlah ratusan juta dolar tersimpan di luar negeri.

Salah satu sumber Dana Revolusi terbesar adalah adanya "Perjanjian The Green Hilton Memorial Agreement Geneva", dibuat dan di tandatangani 21 Nov 63 di hotel Hilton Geneva oleh Presiden AS John F Kennedy &Pres; RI Ir Soekarno dgn saksi dr Swiss William Vouker. Perjanjian ini menyusul MoU diantara RI dan AS tiga tahun sebelumnya.


Awal Hubungan Persahabatan Kedua Tokoh Negarawan tsb

Awal kedekatan dua presiden hebat ini diawali dengan suatu serangan udara dengan tembakan dari senjata Canon Caliber 23 mm dari Jet MiG-17 terhadap istana negara,serangan itu dilakukan oleh seorang anggota CIA yang bernama Allen Pope.

Allen Pope ditembak jatuh di pulau Morotai. Presiden Amerika saat itu D. Dwight Eisenhower atau Ike John memohon karena dengan tertangkapnya pilot itu, kedok AS dan CIA akhirnya terbuka. Kedok yang membuktikan AS melalui CIA ada kaitannya di balik pemberontakan separatisme di Indonesia.
Peristiwa tertangkapnya Allen Pope adalah tamparan bagi Amerika. Sepatah kalimat Allan Pope ketika tertangkap. Setelah pesawat B-26 yang dipilotinya jatuh dihajar mustang AU dan kapal pemburu AL, komentar Pope: “Biasanya negara saya yang menang, tapi kali ini kalian yang menang”. Setelah itu dia masih sempat minta rokok. Termasuk juga infiltrasi AS yang mempersenjatai para pemberontak itu. Ini yang bikin Bung Karno geram, dan mulai memainkan kartu trufnya.

Sejak saat itu tawar menawar Bung Karno dan Ike John menjadi alot,Bung Karno tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Bung Karno ingin kesempatan tawar-menawar ini menjadi alat untuk 'memelintir' lehet Ike. Amerika berusaha mati-matian minta pilotnya dibebaskan. Segala cara pun mulai dilakukan untuk mengambil hati Bung Karno. Eisenhower mengundang Soekarno ke AS bulan Juni 1960. Negosiasi alot yang memakan waktu 4 tahun, sebelum akhirnya Allen Pope benar-benar bebas.

Dimulai dengan Ike atau Eisenhower yang membujuk, merayu dan mengundang Bung Karno ke Amerika. Namun sesudahnya Bung Karno tetap tidak mau tunduk diatur-atur Ike. Situasi mulai berubah sedikit melunak setelah kursi kepresidenan AS beralih ke John F. Kennedy.
John Kennedy tahu, kepribadian Soekarno sangat kuat dan benci di-dikte. Karena itu dengan persahabatan dia mampu “merangkul” Soekarno. “Kennedy adalah presiden Amerika yang sangat mengerti saya”, kata Bung Karno.

Kennedy tidak cuma sekedar mengundang Bung Karno ke Amerika untuk plesiran. Tapi juga ada tindak lanjut nyata di balik undangan diplomatik itu.

Kennedy paham Indonesia butuh perangkat perang untuk merebut Irian Barat. Di antaranya armada tempur. Karena itu diajaknya Bung Karnomengunjungi pabrik pesawat Lockheed di Burbank, California. Di sana Bung Karno dbantu dalam pembelian 10 pesawat hercules tipe B, terdiri dari 8 kargo dan 2 tanker.

Hasilnya? Hercules dari Amerika, menjadi cikal bakal lahirnya armada Hercules bagi AURI (armada yang kelak ikut bertempur merebut Irian Barat). Bung Karno bisa membuat Amerika menghentikan embargo. Lalu menyuntik dana ke Indonesia. Juga beras 37.000 ton dan ratusan persenjataan perangkat perang. Kebutuhan itu semua memang sesuai dengan kondisi Indonesia saat itu.

Inilah awal kedekatan Bung Karno dan J.F. Kennedy
Sayang hubungan mesra Bung Karno dengan Amerika berakhir setelah Kennedy terbunuh tahun 1963. Terbunuhnya Kennedy membuat CIA kembali leluasa mewujudkan mimpi lama yang sempat terhenti. Yaitu terus mengguncang kursi Bung Karno, hingga Putra Sang Fajar itu akhirnya benar-benar terbenam.

Point penting perjanjian itu; Pemerintahan AS (selaku pihak I) mengakui 50 persen keberadaan emas murni batangan milik RI, yaitu sebanyak 57.150 ton dalam kemasan 17 paket emas dan pemerintah RI (selaku pihak II) menerima batangan emas itu dalam bentuk biaya sewa penggunaan kolateral dolar yang diperuntukkan pembangunan keuangan AS! Nah!
Dalam point penting lain pada dokumen perjanjian itu, tercantum klausul yang memuat perincian; atas penggunaan kolateral tersebut pemerintah AS harus membayar fee 2,5 persen setiap tahunnya sebagai biaya sewa kepada Indonesia, mulai berlaku jatuh tempo sejak 21 November 1965 (dua tahun setelah perjanjian).Account khusus akan dibuat untuk menampung asset pencairan fee tersebut.

Maksudnya, walau point dalam perjanjian tersebut tanpa mencantumkan klausul pengembalian harta,namun ada butir pengakuan status koloteral tersebut yang bersifat sewa (leasing).Biaya yang ditetapkan dalam dalam perjanjian itu sebesar 2,5 persen setiap tahun bagi siapa atau bagi negara mana saja yang menggunakannya.


salah satu klausul dalam perjanjian The Green Hilton Agreement tersebut adalah membagi separoh separoh (50% & 50%) antara RI & AS-Sekutu dengan ’bonus belakangan’ satelit Palapa dibagi gratis oleh AS kepada RI.

Artinya, 50 persen (52.150 ton emas murni) dijadikan kolateral untuk membangun ekonomi AS, dan beberapa negara eropa yg baru luluh lantak dihajar Nazi Jerman, sedang 50 persen lagi dijadikan sebagai kolateral yang membolehkan bagi siapapun dan negara manapun, untuk menggunakan harta tersebut dengan sistem sewa (leasing) selama 41 tahun dengan biaya sewa per tahun sebesar 2,5 persen yang harus dibayarkan kepada RI melalui Ir.Soekarno. Kenapa hanya 2,5 persen ? Karena Bg Karno ingin menerapkan aturan zakat dalam Islam.

Quote:
Pembayaran biaya sewa yang 2,5 persen itu harus dibayarkan pada sebuah account khusus a/n The Heritage Foundation (The HEF) dengan instrumentnya adalah lembaga-lembaga otoritas keuangan dunia (IMF, World Bank, The FED & The Bank International of Sattlement/BIS)

Kalau dihitung sejak 21 November 1965, maka jatuh tempo pembayaran biaya sewa yang harus dibayarkan kepada RI pada 21 November 2006.

Berapa besarnya ? 102,5 persen dari nilai pokok yang banyaknya 57.150 ton emas murni + 1.428,75 ton emas murni = 58.578,75 ton emas murni yang harus dibayarkan para pengguna dana kolateral milik bangsa Indonesia ini.wow utang negara kita seharusnya lunas. Padahal, terhitung pada 21 November 2010, dana yang tertampung dalam The Heritage Foundation (The HEF) sudah tidak terhitung nilainya.

Jika biaya sewa 2.5 per tahun ditetapkan dari total jumlah batangan emasnya 57.150 ton, maka selama 45 tahun X 2,5 persen = 112,5% atau lebih dari nilai pokok yang 57.150 ton emas itu, yaitu 64.293,75 ton emas murni yang harus dibayarkan pemerintah AS kepada RI.

Jika harga 1 troy once emas (31,105 gram emas ) saat ini sekitar 1.500 dolar AS, berapa nilai sewa kolateral emas sebnyk itu? Hitung aja! Mengenai keberadaan account The HEF, tidak ada lembaga otoritas keuangan dunia manapun yang dapat mengakses rekening khusus ini, termasuk lembaga pajak. Karena keberadaannya yang sangat rahasia.


Makanya, selain negara-negara di Eropa maupun AS yang memanfaatkan rekening The HEF ini, banyak taipan kelas dunia, maupun ’penjahat ekonomi’ kelas paus dan hiu yang menitipkan kekayaannya pada rekening khusus ini agar terhindar dari pajak. Tercatat orang-orang seperti George Soros, Bill Gate, Donald Trump, Adnan Kasogi, Raja Yordania, Putra Mahkota Saudi Arabia.

Bangsawan Turki dan Maroko adalah termasuk orang-orang yang menitipkan kekayaannya pada rekening khusus tersebut. Pada masa Pemerintahan Soeharto hingga Megawati telah diadakan suatu operasi untuk mengembalikan dana tersebut ke Indonesia.